Setoran Al-Qur’an Saat Berjalan, Bolehkah?

by: Afit Iqwanudin, BA

Salah satu pemandangan yg tak asing di Masjid Nabawi ialah “talaqqi sambil berjalan”. Terlihat seorang Syaikh berjalan dan disampingnya seorang siswa menyetorkan hafalannya. Hal ini merupakan bentuk memanfaatkan waktu seoptimal mungkin tentunya, sebab masjid nabawi yang luas cukup memakan waktu untuk berjalan dari satu sisi ke sisi yang lain.

Namun bagaimanakah pandangan ulama terhadap hal ini??
Imam Ibnul Jazary rohimahulloh berkata : “Aku tidak mendapati ada ulama yang melarang membaca Al-Quran sambil berjalan kecuali yang diriwayatkan dari Imam Malik bahwa beliau berkata : ‘Membaca Al Quran sambil jalan tidaklah kukenal”

Imam Abu dawud meriwayatkan bahwasanya Abu Darda rhodiyallohu ‘anhu biasa membaca Al-Quran saat berjalan.

Imam As Sakhowi rohimahulloh juga dikenal biasa melakukan hal serupa.

Diriwayatkan pula dari Umar bin ‘Abdul Aziz rohimahulloh bahwasanya beliau membolehkan hal tersebut.

Dari beberapa riwayat diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa mayoritas ulama menganggap bolehnya membaca Al quran saat berjalan. Dan diantara bentuknya ialah talaqqi atau menyetorkan hafalan kepada syaikh/guru. Namun Imam An Nawawi rohimahulloh menambahkan syarat : selama konsentrasi tidak terganggu.
Akan tetapi jika sebaliknya maka hal tersebut hendaknya dihindari sebagaimana Nabi melarang seorang yang sholat dalam keadaan mengantuk lantaran ada kemungkinan salah dalam bacaannya (karena kurangnya konsentrasi).

Penjelasan Imam Nawawi rohimahulloh diatas juga mengisyaratkan pentingnya mentadabburi apa yang kita baca, bukan sekedar melafadzkan huruf2 Al-Quran tanpa paham maknanya. Oleh karenanya dibutuhkan konsentrasi saat membaca Al-Quran. Allah ta’ala berfirman :

(كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ)

“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” [Shod 29]

“Agar mereka menghayati ayat-ayatnya”
atau dalam qiroat Abu Ja’far : “litadabbaru” (لتدبروا آياته) yang memiliki makna : “Agar ‘kalian’ menghayati ayat-ayatnya”
Lihat : Munjidul Muqriin

by: Afit Iqwanuddin, BA (Mahasiswa S2 Ilmu Qiraat UIM).