by: Afit Iqwanudin
Setoran Al-Quran atau talaqqi merupakan landasan utama dalam mempelajari Al-Quran, sebagaimana dahulu Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam mengambilnya dari Malaikat Jibril. Sebab ilmu ini memang berasaskan riwayat, Allah ta’ala berfirman :
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (Al Qiyamah : 18)
Namun sekedar berpegangan dengan riwayat saja tidaklah cukup jika tanpa diimbangi dengan ilmu diroyah (teori), begitu juga sebaliknya. Keduanya bagai dua sisi koin yg tak boleh dipisahkan.
Oleh karenanya, saat seseorang sudah berhasil meraih sanad suatu qiroat bukan berarti perjalanannya sudah sampai garis finish, belum. Ia justru memiliki kewajiban tambahan untuk mendalami ilmu diroyah.
Para ulama terdahulu sudah mewanti-wanti hal ini :
Ibnu At Thohhan Al Andalusi rohimahulloh berkata :
“Apa manfaatnya sebuah riwayat (sanad) bagi seorang qori jika ia melalaikan ilmu diroyah? ia akan sering terjatuh kedalam lahn (kesalahan). Tidak ada udzur baginya untuk megesampingkan ilmu diroyah”
Ahmad Al Andarobi rohimahulloh juga menuturkan :
“Suatu keharusan bagi seorang qori
untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu bahasa arab serta ilmu i’rob”
Abul Hasan Al Hushori pernah melantunkan sebuah bait syair :
لقد يدعي علم القراءات معشر … وباعهم في النحو أقصر من شبر
فإن قيل ما إعراب هذا ووجهه؟ … رأيت طويل الباع يقصر عن فتر
Bait syair diatas menggambarkan keprihatinan beliau terhadap sebagian penuntut ilmu. Dimana banyak diantara mereka yang mengaku menguasai ilmu qiroat namun tak paham ilmu nahwu.
Bahkan saat ditanya tentang i’rob suatu qiroat dan taujihnya ia hanya bisa tersenyum kecut dan garuk-garuk kepala.
================
Munjidul Muqriin, Ibnul Jazari
Nidhomu al ada fil waqfi wal ibtida, Ibnu At Thohan
Al idhoh fil qiroat, Ahmad Al Andarobi